Please ensure Javascript is enabled for purposes of website accessibility

img_head
ARTIKEL

MEKANISME PERMOHONAN DAN PELAKSANAAN EKSEKUSI RIIL

Okt10

Konten : artikel hukum
Telah dibaca : 24 Kali


Eksekusi

Eksekusi adalah menjalankan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (res judicata / inkracht van gewijsde) yang bersifat penghukuman (condemnatoir), yang dilakukan secara paksa, jika perlu dengan bantuan kekuatan umum.

Tahap-Tahap Pelaksanaan Eksekusi:

  1. Permohonan Eksekusi
  2. Telaah terhadap permohonan eksekusi dilaksanakan oleh Panitera Muda atau Tim yang ditugaskan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dituangkan dalam resume telaah eksekusi;
  3. Apabila hasil resume telaah eksekusi permohonan tersebut dapat dilaksanakan, maka dilakukan penghitungan panjar biaya eksekusi dan pemohon eksekusi dipersilahkan untuk melakukan pembayaran;
  4. Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan peringatan eksekusi/Aanmaning setelah lebih dahulu ada permintaan eksekusi dari Pemohon Eksekusi (Penggugat/Pihak yang menang perkara), dengan mendasarkan pada Pasal 196 HIR atau Pasal 207 RBg. Penetapan peringatan eksekusi berisi perintah kepada Panitera/Juru sita/Juru sita Pengganti untuk memanggil pihak termohon eksekusi (Tergugat/Pihak yang kalah) untuk diperingatkan agar supaya memenuhi atau menjalankan putusan.
  5. Apabila termohon eksekusi (Tergugat/Pihak yang kalah) tidak hadir tanpa alasan setelah dipanggil secara sah dan patut, maka proses eksekusi dapat langsung diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri tanpa sidang insidentil untuk memberi peringatan, kecuali Ketua Pengadilan menganggap perlu untuk dipanggil sekali lagi.
  6. Peringatan eksekusi dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri harus dilakukan dalam pemeriksaan sidang insidentil, dibantu oleh Panitera, dengan dihadiri pihak termohon eksekusi (Tergugat/pihak yang kalah), serta apabila dipandang perlu dapat menghadirkan pemohon eksekusi (penggugat/pihak yang menang perkara).
  7. Peringatan eksekusi dalam sidang insidentil tersebut dicatat dalam Berita Acara yang ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Negeri dan Panitera.
  8. Dalam peringatan eksekusi tersebut Ketua Pengadilan Negeri memperingatkan termohon eksekusi (tergugat/pihak yang kalah) agar memenuhi atau melaksanakan isi putusan paling lama 8 (delapan) hari terhitung sejak diberikan peringatan.
  9. Apabila tenggang waktu terlampaui, dan tidak ada keterangan atau pernyataan dari pihak yang kalah tentang pemenuhan putusan, maka sejak saat itu pemohon dapat memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menindak lanjuti permohonan eksekusi tanpa harus mengajukan permohonan ulang dari pihak yang menang (Pasal 197 ayat 1 HIR/Pasal 208 ayat 1 RBg).
  10. Apabila perkara sudah dilakukan sita jaminan (conservatoir beslaag), maka tidak perlu diperintahkan lagi sita eksekusi (executorial beslaag). Dan apabila dalam perkara tersebut tidak dilakukan sita jaminan sebelumnya, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat mengeluarkan penetapan sita eksekusi. Dalam hal eksekusi pengosongan tidak selalu diletakkan sita eksekusi, dapat langsung dilaksanakan pengosongan tanpa penyitaan.
  11. Dalam hal melaksanakan putusan yang memerintahkan untuk melakukan pengosongan (eksekusi riil), maka hari dan tanggal pelaksanaan pengosongan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, setelah dilakukan rapat koordinasi dengan aparat keamanan.
  12. Apabila termohon eksekusi merupakan unsur TNI (yang masih aktif atau yang telah purnawirawan), maka harus melibatkan pengamanan Polisi Militer (PM).
  13. Sebelum melakukan eksekusi pengosongan, terlebih dahulu dilakukan peninjauan lokasi tanah atau bangunan yang akan dikosongkan dengan melakukan pencocokan (konstatering) guna memastikan batas-batas dan luas tanah yang bersangkutan sesuai dengan penetapan sita atau yang tertuang dalam amar putusan dengan dihadiri oleh panitera, jurusita/jurusita pengganti, pihak berkepentingan, aparat setempat dan jika diperlukan menghadirkan petugas Badan Pertanahan Nasional, serta dituangkan dalam Berita Acara.
  14. Dalam hal melakukan pemberitahuan eksekusi pengosongan dilakukan melalui surat (Surat Pemberitahuan) kepada pihak termohon eksekusi, harus dengan memperhatikan jangka waktu yang memadai dari tanggal pemberitahuan sampai pelaksanaan pengosongan.
  15. Pengosongan dilaksanakan dan dilakukan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan, dengan cara yang persuasif dan tidak arogan. Misalnya dengan memerintahkan pemohon eksekusi menyiapkan gudang penampungan guna menyimpan barang milik termohon eksekusi dalam waktu yang ditentukan, atas biaya pemohon.
  16. Setelah pengosongan selesai dilaksanakan, tanah atau bangunan yang dikosongkan, maka pada hari itu juga segera diserahkan kepada pemohon eksekusi atau kuasanya yang dituangkan berita acara penyerahan, dengan dihadiri oleh aparat.

Syarat Permohonan Teguran (Aanmaning)/ Eksekusi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.\

  1. Permohonan Teguran (aanmaning)/eksekusi diajukan secara tertulis yang ditanda tangani oleh Pemohon Eksekusi atau kuasanya dengan melampirkan surat kuasa khusus yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Hukum.
  2. Surat permohonan aanmaning/eksekusi berisi:Identitas Pemohon Eksekusi dan Termohon Eksekusi (sesuai Identitas diri/KTP); Uraian singkat duduk perkara dan alasan permohonan; Obyek perkara; Amar putusan Pengadilan tingkat pertama sampai dengan terakhir; Tanggal penerimaan pemberitahuan putusan kepada pihak Pemohon;
  3. Surat Permohonan dilampiri dengan: Fotocopy salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sesuai dengan fotocopy (cap stempel basah PN); Surat kuasa khusus, jika permohonan diajukan oleh kuasa; Relaas pemberitahuan putusan kepada pihak Pemohon; Surat pernyataan dari pemohon bahwa obyek eksekusi tidak terkait dengan perkara lain” (misalnya Perkara TUN, Pidana, Tipikor); Surat-surat lain yang dipandang perlu (apabila ada).

Syarat Permohonan Teguran (Aanmaning)/Eksekusi terhadap Akta Perdamaian (Acta van dading)

  1. Permohonan aanmaning/eksekusi ditanda tangani oleh prinsipal pemohon atau kuasanya dengan melampirkan surat kuasa khusus.
  2. Surat Permohonan aanmaning/eksekusi berisi: Identitas pemohon dan termohon (sesuai dengan Identitas diri/KTP); Uraian singkat akte perdamaian dan alasan permohonan; Obyek perdamaian.
  3. Surat Permohonan dilampiri dengan : Fotocopy Akta Perdamaian (acta van dading) sesuai dengan aslinya (stempel basah PN); Surat-surat lain yang dipandang perlu (apabila ada).

Eksekusi Grosse Akta

  1. Sesuai Pasal 224 HIR/Pasal 258 RBg ada dua macam grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu grosse akta pengakuan hutang dan grosse sita hipotik.
  2. Grosse adalah salinan pertama dan akta otentik. Salinan pertama ini diberikan kepada kreditur.
  3. Oleh karena salinan pertama dan alas pengakuan hutang yang dibuat oleh Notaris mempunyai kekuatan eksekusi, maka salinan pertama ini harus ada kepala/ irah-irah yang berbunyi ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Salinan lainnya yang diberikan kepada debitur tidak memakai kepala/ irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Asli dari akta (minit) disimpan oleh Notaris dalam arsip dan tidak memakai kepala/ irah-irah.
  4. Grosse atas pengakuan hutang yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh Notaris diserahkan kepada kreditor yang dikemudian hari bisa diperlukan dapat langsung dimohonkan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri.
  5. Eksekusi berdasarkan Grosse akta pengakuan hutang Fixed Loan hanya dapat dilaksanakan apabila debitur sewaktu ditegur, membenarkan jumlah hutangnya itu.
  6. Apabila debitur membantah jumlah hutang tersebut, dan besarnya hutang menjadi tidak fixed, maka eksekusi tidak bisa dilanjutkan. Kreditur, yaitu bank untuk dapat mengajukan tagihannya harus melalui suatu gugatan, yang dalam hal ini, apabila syarat-syarat terpenuhi, dapat dijatuhkan putusan serta merta.
  7. Pasal 14 Undang-undang Pelepas Uang (Geldschieters Ordonantie, S.1938-523), melarang Notaris membuat atas pengakuan hutang dan mengeluarkan grosse aktanya untuk perjanjian hutang-piutang dengan seorang pelepas uang.
  8. Pasal 224 HIR, Pasal 258 RBg. tidak berlaku untuk grosse akta semacam ini.
  9. Grosse akta pengakuan hutang yang diatur dalam Pasal 224 HIR, Pasal 258 RBg, adalah sebuah surat yang dibuat oleh Notaris antara Orang Alamiah/ Badan Hukum yang dengan kata-kata sederhana yang bersangkutan mengaku, berhutang uang sejumlah tertentu dan ia berjanji akan mengembalikan uang itu dalam waktu tertentu, misalnya dalam waktu 6 (enam) bulan, dengan disertai bunga sebesar 2 % sebulan.
  10. Jumlah yang sudah pasti dalam surat pengakuan hutang bentuknya sangat sederhana dan tidak dapat ditambahkan persyaratan-persyaratan lain.
  11. Kreditur yang memegang grosse atas pengakuan hutang yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dapat langsung memohon eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan dalam hal debitur ingkar janji.

Sumber: – Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 88-89. 

Eksekusi Hak Tanggungan

  1. Pasal 1 butir (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
  2. Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan suatu perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut, dan pemberian Hak Tanggungan tersebut dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT (Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang¬-undang No. 4 Tahun 1996).
  3. Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, dan sebagai bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pendaftaran Tanah menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA (Pasal 13 ayat (I), Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).
  4. Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan apabila debitur cidera janji maka berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan tersebut, pemegang hak tanggungan mohon eksekusi sertifikat hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. Kemudian eksekusi akan dilakukan seperti eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
  5. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan, jika dengan demikian itu akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak (Pasal 20 ayat (2) Undang-undang No.4 Tahun 1996).
  6. Pelaksanaan penjualan dibawah tangan tersebut hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pembeli dan/ atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/ atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan (Pasal 20 ayat (3) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).
  7. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT, dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada membebankan Hak Tanggungan; 2) tidak memuat kuasa substitusi; 3) mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan  identitas debitur apabila debitur bukan pemberi Hak Tanggungan;
  8. Eksekusi hak tanggungan dilaksanakan seperti eksekusi putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap.
  9. Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir dengan pelelangan tanah yang dibebani dengan Hak tanggungan.
  10. Setelah dilakukan pelelangan terhadap tanah yang dibebani Hak tanggungan dan uang hasil lelang diserahkan kepada Kreditur, maka hak tanggungan yang membebani tanah tersebut akan diroya dan tanah tersebut akan diserahkan secara bersih, dan bebas dan semua beban, kepada pembeli lelang.
  11. Apabila terlelang tidak mau meninggalkan tanah tersebut, maka berlakulah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 200 ayat (11) HIR.
  12. Hal ini berbeda dengan penjualan berdasarkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri berdasarkan Pasal 1178 ayat (2) BW, dan Pasal 11 ayat (2) e UU No. 4 Tahun 1996 yang juga dilakukan melalui pelelangan oleh Kantor Lelang Negara atas permohonan pemegang hak tanggungan pertama, Janji ini hanya berlaku untuk pemegang Hak tanggungan pertama saja. Apabila pemegang hak tanggungan pertama telah membuat janji untuk tidak dibersihkan (Pasal 1210 BW dan pasal 11 ayat (2) j UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan), maka apabila ada Hak tanggungan lain-¬lainnya dan hasil lelang tidak cukup untuk membayar semua Hak tanggungan yang membebani tanah yang bersangkutan, maka hak tanggungan yang tidak terbayar itu, akan tetap membebani persil yang bersangkutan, meskipun sudah dibeli oleh pembeli dan pelelangan yang sah. Jadi pembeli lelang memperoleh tanah tersebut dengan beban-beban hak tanggungan yang belum terbayar. Terlelang tetap harus meninggalkan tanah tersebut dan apabila ia membangkang, ia dan keluarganya, akan dikeluarkan dengan paksa.
  13. Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, maka lelang tersebut hanya dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan tidak dapat ditangguhkan dengan alasan apapun oleh pejabat instansi lain, karena lelang yang diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara, adalah dalam rangka eksekusi, dan bukan merupakan putusan dari Kantor Lelang Negara.
  14. Penjualan (lelang) benda tetap harus di umumkan dua kali dengan berselang lima belas hari di harian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan obyek yang akan dilelang (Pasal 200 ayat (7) HIR, Pasal 217 RBg).

Sumber:
– Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta,  2008, hlm. 90-92.

Eksekusi Sita Jaminan

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, butir (1), yang dimaksud dengan FIDUSIA adalah “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”.

  • Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
  • Benda obyek jaminan fidusia tidak dapat dibebani Hak tanggungan atau hipotek.
  • Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan alas notaris dalam bahasa Indonesia yang sekurang-kurangnya memuat: 1) identitas pihak pemberi dan penerima fidusia; 2) data perjanjian pokok yang dijamin fidusia; 3) uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia; 4) nilai penjaminan; dan 5) nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
  • Jaminan fidusia harus didaftarkan oleh penerima fidusia atau kuasanya kepada Kantor Pendaftaran Fidusia selanjutnya Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada penerima fidusia Sertifikat Jaminan Fidusia yang mencantumkan kata-kata DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.
  • Apabila terjadi perubahan mengenai hal-hal yang tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia Penerima Fidusia wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan tersebut kepada Kantor Pendaftaran Fidusia, selanjutnya Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan Pernyataan Perubahan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Sertifikat Jaminan Fidusia.
  • Pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang sudah terdaftar.
  • Jaminan fidusia dapat dialihkan kepada kreditor baru, dan pengalihan tersebut harus didaftarkan oleh kreditor baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.
  • Apabila debitur atau pemberi fidusia cedera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara: 1) Pengalihan hak atas piutang juga dijamin dengan fidusia yang mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima fidusia kepada Kreditur baru; 2) Penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; 3) Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak (Iihat Pasal 29 UU No. 40 Tahun 1999).
  • Prosedur dan tatacara eksekusi selanjutnya dilakukan seperti dalam eksekusi hak tanggungan.

Sumber:
– Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 93-94.

Portal Online